Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Benih Bening Lobster (BBL) di Daerah Istimewa Yogyakarta

Indonesia sebagai negara maritim dengan dua per tiga wilayahnya lautan dan memiliki sumber daya perikanan tangkap yang luar biasa, baik keanekaragaman maupun kuantitasnya. Salah satu komoditas laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah lobster (Panulirus sp), baik lobster pasir (P homarus), lobster mutiara (P ornatus), maupun jenis yang lainnya. Lobster mutiara ukuran 300 gr bernilai 30—40 dolar AS/kg, sedangkan untuk jenis mutiara lebih besar lagi bisa mencapai 45—60 dolar AS/kg. Di samping ukuran konsumsi, benih bening lobster (BBL) Panulirus sp yang sering disebut baby lobster (BL) memiliki nilai ekonomis cukup tinggi juga. Berdasarkan data di lapangan, harga puerulus (benih lobster yang masih bening, belum berpigmen) dihargai Rp5.000—Rp10 ribu per ekor, bahkan harga ini terlalu murah jika dibandingkan di Vietnam yang mencapai 5—10 dolar AS. Vietnam sendiri merupakan Negara tujuan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) dari Indonesia.

Deviasi harga dan potensi hilangnya nilai ekonomis dari sumber daya perikanan asal Indonesia ini menjadi dasar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur tata kelola komoditas Benih Bening Lobster (BBL) yaitu Permen KP Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Meski ekspor dilarang, kegiatan penangkapan BBL di alam tetap diperbolehkan dengan sejumlah ketentuan. Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) atau lobster yang belum berpigmen hanya dapat dilakukan untuk pembudidayaan di wilayah Indonesia. Penangkapan tersebut harus memperhatikan estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Penangkapan harus didasarkan pada kuota dan lokasi penangkapan BBL yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan/rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Selain itu, penangkapan hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) dan telah ditetapkan. Nelayan Kecil yang belum terdaftar dalam Lembaga Online Single Submission (OSS) dapat melakukan penangkapan sepanjang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturanperundang-undangan.

Melimpahnya benih lobster di laut harus kita kelola sebaik-baiknya agar bermanfaat secara ekonomi.  Pengelolaan sumber daya laut seharusnya menganut keberlanjutan, baik secara ekologi maupun secara ekonomi. Pengelolaan sumber daya yang hanya mengacu pada kelestarian ekologi tidak akan memperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. Sebaliknya, pengelolaan yang berbasis ekonomi tanpa memperhatikan ekologi yang terjadi hanya over-eksploitasi dan kerusakan sumber daya.

Sebagai salah sumber daya laut, lobster merupakan sumber daya milik bersama dan bersifat terbuka bagi siapa saja, sehingga sering timbul konflik dalam pemanfaatannya. Maka itu, perlu multi regulasi dalam mengelolanya dengan turut memperhatikan aspirasi lokal pada masing – masing wilayah. Pengelolaan berbasis masyarakat dengan melibatkan pemerintah sebagai regulator bisa dijadikan salah satu model pengelolaan lobster secara regional dengan melibatkan tokoh masyarakat dan memperhatikan kearifan lokal.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pengelolaan BBL telah menimbulkan bibit konflik, di satu sisi pro penangkapan BBL dengan mengacu regulasi yang ada dan di lain pihak kontra dengan penangkapan BBL dengan prognosa bahwa penangkapan BBL akan mengurangi potensi komoditas Lobster dewasa. Hal ini telah terjadi di wilayah Sadeng Kabupaten Gunungkidul, dimana beberapa nelayan lokal dengan bantuan nelayan asal Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur, telah melakukan upaya penangkapan BBL Usaha penangkapan BBL ini mendapat tentangan dari Nelayan lain di Wilayah Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo utamanya dari pihak yang kontra penangkapan BBL

Sebagai upaya mitigasi konflik tentang pengelolaan Benih Bening Lobster (BBL), Dinas Kelautan dan Perikanan DIY gencar melakukan sosialisasi kepada seluruh stake holder dengan obyek adalah aparat Pembina perikanan tangkap di level Provinsi hingga Kabupaten/ Kota se DIY dan kepada nelayan serta masyarakat pesisir di wilayah DIY. Sosialisasi dilaksanakan tanggal 31 Agustus 2022 di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, tanggal 5 Oktober di Pantai Goa Cemara Kabupaten Bantul dan tanggal 6 Oktober di TPI Karangwuni Kabupaten Kulon Progo.

Dari hasil serap aspirasi nelayan pada tiap Kabupaten berpesisir di DIY yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo didapatkan hasil bahwa mayoritas nelayan menolak usaha penangkapan BBL. Hanya sebagian kecil nelayan yang pro upaya penangkapan yaitu di wilayah Sadeng Kabupaten Gunungkidul.  Upaya tindak lanjut yang dilakukan adalah fungsi pemerintah sebagai regulator untuk menghindari tumpang tindih kepentingan pemanfaatan sumber daya ikan, maka Masyarakat perlu dilibatkan. Peluang adanya kearifan lokal dalam pengelolaan BBLdi wilayah DIY selalu dibuka, utamanya dalam rangka menjaga kondusifitas wilayah dari konflik horizontal dan vertikal.

Secara yuridis formal kearifan lokal telah diperkenalkan dalam Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam undang-undang tersebut juga diperkenalkan asas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia, yaitu bahwa dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memerhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

DKP DIY menginisiasi kegiatan Rembug Nelayan tentang Pengelolaan Benih Bening Lobster di DIY pada tanggal 12 Oktober 2022, dengan mengundang semua stake holder Perikanan Tangkap antara lain, Dit Polairud Polda DIY, Pangkalan AL DIY, Pos PSDKP KKP RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gunungkidul, Perwakilan Nelayan dari setiap Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di DIY. Dari Kegiatan tersebut disepakati dan ditandatangani Perjanjian Kesepakatan Bersama dengan poin poin antara lain adalah:a) Tidak ada aktivitas penangkapan Benih Bening Lobster (BBL) di wilayah perairan Kabupaten Gunungkidul baik oleh Nelayan Kabupaten Gunungkidul maupun Nelayan dari luar wilayah Kabupaten Gunungkidul; b) Segala bentuk pelanggaran terkait Perjanjian Kesepakatan bersama ini akan diproses sesuai ketentuan perundangan yang berlaku; dan c) Menghindari konflik antar nelayan baik lokal Kabupaten Gunungkidul maupun wilayah luar serta mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian masalah.

Melalui rangkaian kegiatan Sosialisasi, Koordinasi Lintas Sektor, Rembug Nelayan hingga disepakatinya Perjanjian Kesepakatan Bersama terkait pengelolaan BBL ini diharapkan adanya kesamaan visi dan misi serta pengetahuan pada semua pemangku kepentingan yang terlibat baik itu di level Pembina, Pengawas, Instansi Penegak hukum hingga nelayan dan pembudidaya terkait upaya pengelolaan BBL di DIY dan sebagai bahan konsideran untuk penyusunan regulasi dengan hirarki yang lebih tinggi. Outcome yang diharapkan adalah terjaganya kondusifitas usaha penangkapan ikan dan mencegah konflik baik horizontal dan vertical.

WhatsApp